[BONUS NOVEL] MyLife | The DarkLord 3
[My Life] The DarkLord
[3]
.
.
.
Disclaimer:
Hallo! Cerita ini murni dari pemikiranku yang tiba-tiba(?) muncul disaat asam lambungku naik(?). tidak ada unsur copas atau plagiat. Aku mencoba membawakannya dengan gayaku sendiri.
Typo everywhere!
summary:Ashlyn telah kehilangan 2 kali dalam hidupnya selama 17 tahun. Ia adalah putih dan hitam disaat yang bersamaan. Bagaimana jika seorang vampire dengan hatinya yang telah mati menginginkan hati Ashlyn? Apakah Ashlyn masih bisa hidup untuk usianya ke-18 tahun?
“Tidak Ashlyn”
…
… …
Ashlyn kembali pulang
dengan Aldrich. Entah apa yang dilakukan pria itu dimakam neneknya. tapi Ashlyn
sangat bersyukur. Gadis ini sangat butuh sandaran untuk ia peluk. Dan Aldrich
tak disangka mendekap dirinya begitu erat. Seakan ia mengerti keluh kesah sang
gadis. Aldrich mengerti itu. ia merasakan serta mendengar disaat yang sama.
Gadis ini butuh jiwa yang begitu kuat untuk ia pegang.
Aldrich memperhatikan
Ashlyn yang tertidur dalam rangkulannya. Ia memeluk Ashlyn. Ia ingin membantu
gadis ini dalam berdiri. Tapi semakin teguh pilihan Aldrich, tetap saja –ia
tidak akan mudah menyentuh hatinya. Hati Ashlyn begitu rapuh. Bahkan jiwanya
tersentak. Kepergian orang tersayangnya –sumber kasih terdalam di hari-hari
penuh terberkati dirinya.
Gadis ini, Ashlyn,
remaja yang sudah menanggung beban berat dalam hidupnya yang seakan bisa
terenggut dalam jiwanya. Sungguh, jika Aldrich bisa menangis untuknya –untuk
Ashlyn yang tangguh, ia akan menangis. Dan tidak! Aldrich tidak bisa memakai
hatinya. Hati terdalamnya sudah lama mati.
Aldrich mencium pucuk
kepala Ashlyn. Ia merasakan dorongan itu. sebuah rasa untuk mendekap gadis ini
lebih dalam dan mengikatnya dalam rohnya. Rohnya? Aldrich lebih layak disebut
mayat hidup dari pada jasad yang didalamnya roh.
“Aku
berjanji,Ashlyn”
Sementara sopir pribadi
Aldrich hanya berfokus pada jalanan. Ia tak punya cukup nyawa untuk melihat
adegan dibelakang lewat kaca. Sopir itu sangat menghormati Aldrich untuk kehidupannya
didunia ini.
Dan mobil terus melaju
membelah jalanan. Dan langit seakan ikut merasakan kekalutan Ashlyn, hujan
turun menemani.
@@@
Terlihat Blaire
memeriksa berkas-berkasnya. Ia merasa ganjil dengan berbagai laporan disana.
Lalu ia melirik Collins. Collins bersedekap dihadapannya. Mungkin Collins sudah
mengerti jalan pikir Blaire. Sementara Blaire berhedehem kecil. Ia meletakan
berkas-berkasnya dan menatap lurus Collins.
“Jadi,
bagaimana dengan kabar orang dalam itu?”
Blaire sangat yakin jika
beberapa laporannya benar. Tapi, setelah Collins mengungkapkan jika pria itu
mencurigai orang dalam, Blaire serasa ia sangat ceroboh.
“Belum ada
kabar terbaru. Tapi aku curiga jika pelaku itu…”
“Ketua! Pelaku
mencoba melakukan aksi bunuh diri!”
Mereka tercekat.
Langsung saja Blaire dan Collins menuju lokasi. Sementara bawahan mereka yang
baru saja memotong ucapan Collins menunjukkan jalan. sungguh tidak masuk akal!
Apa pelaku itu benar gila untuk mengakhiri hidupnya?
Disana, mereka melihat
sang pelaku berniat menggorok lengannya. Collins memutar arah. Ia meraih jarum
berisikan cairan berwarna kuning disaku celananya. Segera ia membuka pintu
darurat diruangan dimana sang pelaku mencoba bunuh diri. Ia melemparkan jarum itu
dan tepat mengenai lengan atas pelaku. Dan cairan kuning pucat itu langsung
terserap dalam tubuh pelaku.
“Akkkh…kau
…h”
Sang pelaku langsung
ambruk. Tubuhnya lemas dan suhunya tubuhnya dingin. Wajahnya pucat dan
tangannya gemetaran. Benar-benar mudah untuk ditaklukan.
Rekan-rekannya yang lain
langsung masuk dan menangkap pelaku. Dan Blaire menatap tak percaya pada apa
yang ia baru lihat. Jika saja Collins tidak menghentikan si-pelaku, mungkin
saja beberapa bagian tubuh si-pelaku sudah terpotong karenanya.
“Syukurlah
kau bertindak cepat, Collins”
“Hanya orang
itu yang mengetahui kronologis pembunuhan Mrs.Whitelaw. aku tak habis pikir.
Kenapa orang yang dengan gangguan jiwa selalu ingin mengakhiri hidupnya secara
tidak manusiawi.”
Sementara yang lain
mengamankan sang pelaku. Collins dan Blaire benar-benar bingung dibuatnya. Blaire
menyadari sesuatu. Seharusnya ia menangkap beberapa clue yang terlontar dari
Collins.
“Apakah tadi
kau ingin mengatakan jika pelaku pembunuhan itu…”
Blaire menggantukan
pernyataannya. Dan Collins menghela nafas. seharusnya Blaire cukup pintar untuk
memecahkan beberapa clue!
“Benar,
Blaire.”
“Kenapa kau
tidak mengatakannya sedari awal?”
“Dan kenapa
kau tidak cakap dalam menangkap beberapa clue-nya , Blaire?”
Blaire tertegun. Ia
menatap Collins yang juga balas menatapnya. Collins meraih secarik kertas dalam
saku jasnya. Ia melihat isinya. Blaire tidak tahu menahu. Ia sedikit mengintip.
“Kemarin,
pelaku itu bilang jika nyawa gadis itu dalam bahaya. Aku tidak bisa memastikan
karena tidak ada bukti yang mengarah pada orang dalam A. tapi kita harus selalu
siaga jika terjadi sesuatu.”
Collins menatap Blaire.
Sepertinya wanita ini merasa kebingungan. Apakah ia harus mengatakan secara
gamblang?
“Ashlyn.”
“Ya, Ashlyn!
Aku mengerti. Pasti pelaku itu bicara tentang Ashlyn.”
Collins menunggu Blaire
melanjutkan ucapannya.
“Target
selanjutnya adalah Ashlyn! Dia cucu Mrs.Whitelaw dengan marga Claire. Ashlyn
adalah pewaris asli dari aset kepemilikan Mr.Claire Whitelaw. Dan aku
mencurigai Ms.Birtle Bens –kakak dari Ms.Mora Claire. Aku mengerti, Collins.”
Dan kini Collins tercengang dibuatnya. Blaire cukup jeli dikeadaan
mendesak seperti ini.
“Ms.Mora
Claire? Itu putri kandung Mr.Claire Whitelaw, kan?”
“Benar.
Ms.Birtle Bens dan Ms.Mora Claire adalah saudara sekandung dengan Ayah yang
berbeda.Mudah saja. motifnya balas dendam dan perebutan harta.”
Collins tersenyum miring. Ia puas dengan hasil kerja Blaire.
Wanita berambut merah ini memang cerdas sangat bisa diandalkan. Blaire Cassa.
Blaire menghela nafas lega. Akhirnya kasus teka-teki ini selesai.
Raut wajah Blaire dan Collins tiba-tiba menegang. Mereka merasakan
sesuatu didalam. Bagai angin musim gugur menyapa. Mereka berdua saling
memandang. Seakan bingung dengan suasana yang begitu lega menghampiri batinnya.
“Kau
merasakannya?” Blaire angkat bicara. Ia melihat warna mata Collins yang semula
abu-abu gelap menjadi merah pekat. Dan itu sangat kentara. Mungkin saja ia juga
mengamalinya –karena Blaire juga merasakan warna matanya berubah sama.
Collins membuka mulutnya. Seperti sesuatu yang mendesak keluar
dari kedua rahangnya. Blaire menunduk dan memegangi bagian mulutnya. Ia
membelakkan mata. lalu kembali mendongak pada Collins.
Taring mereka keluar.
Collins merasakan tenggorokannya kering dan ia mulai gelisah.
“My Lord!”
Blaire tersenyum penuh arti. Ia mulai berpikir. Sang Ace telah
bertemu dengan hatinya.
***
“Tidurlah,
Ashlyn.”
Aldrich mengantarkan Ashlyn menuju kamarnya. Ia meringis.
Seharusnya Ashlyn tidak tidur kamar tamu. Tak ada sepatah kata yang dilontarkan
Ashlyn sesampainya dirumah. Bahkan dalam perjalanan pulang, gadis ini tertidur
pada dekapannya.
“Ashlyn”
Ashlyn berbalik. Matanya sembab dan bibirnya pucat. Dari
tatapannya, gadis ini enggan untuk menunda-nunda waktu menyendirinya. Ia masih
mengenakan seragam SMA. Ashlyn merasakan lidahnya kelu. Ia ingin mengatakan
sesuatu pada pria ini. ia baru teringat bahwa seragam ini dibelikan oleh
Aldrich. Ashlyn tak sempat mengucapkan ‘terimakasih’.
“Tak apa,
Ashlyn. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu.”
“Tuan,”
“Ashlyn,
ikutlah dengan ku sebentar.”
Padahal, Ashlyn ingin menolaknya mentah-mentah dengan langsung
melenggang pergi. Tapi, Aldrich meraih tangannya. Ia tertegun. Tangan Aldrich
sangat dingin. Apakah Aldrich sedang mengalami hipotermia? Tapi, cuaca saat ini
sedang cerah seusai hujan. Bagaimana bisa?
“Tuan,”
Aldrich menoleh pada Ashlyn. Gadis ini menatap Aldrich dengan
menautkan alisnya. Aldrich tahu jika kini, Ashlyn tengah bertanya-tanya. Aldrich
tersenyum miring.
“Tanganmu
dingin.”
“Hmmm…”
Aldrich tertegun sesaat. Ia sama sekali tak terkejut. Tapi, saat
Ashlyn berkata jujur bahwa tangannya dingin, sengatan listrik bagai menyengat
tubuhnya. Ia memalingkan wajahnya. Aldrich tak berniat merespon.
Ashlyn menunduk dan menyakini bahwa ucapannya tadi pasti
menyinggung Aldrich. Apa yang kau lakukan
Ashlyn?
Kini mereka sampai dipintu putih. Itu kamar baru Ashlyn. Dan
Aldrich menempatkan kamar Ashlyn diseberang kamarnya. Ashlyn menerka-nerka.
Mungkinkah?
“Masuklah.
Ini kamarmu.”
Ashlyn menunduk lagi. ia membuka pintu dan masuk kedalam. Ia
melihat-lihat seisi ruangan. Sungguh megah dan luas. Barang-barang dikamar
barunya pasti sangat mahal. Ashlyn dapat melihat kesan manly dan menenangkan
dalam kamar barunya. Ia tersenyum dan berbalik menghadap Aldrich.
Aldrich membalas senyumnya dan ikut masuk kedalam ruangan. Ia menghembuskan
nafas.
“Dulunya,
ruangan ini diperuntukkan ruang kerja pribadi. Tapi, karena aku sibuk., aku
tidak pernah membicarakannya lagi.”
“Ini khusus
untukku?”
Mata Ashlyn berbinar-binar. Ia sungguh senang. Apakah Aldrich
membuatnya khusus untuk dirinya? Tapi apakah mungkin? Bisa saja, kamar lama
Ashlyn akan dijadikan gudang dan Ashlyn diungsikan kesini.
“Tidak!…emmm…maksudku,
aku ingin mengawasimu lebih dekat. Dan tentu saja! aku membuatkannya khusus
untukmu dihari pertama kau datang.”
Ashlyn tersenyum lebar. Ia kembali melihat-lihat dengan senyumnya
yang masih mengembang. Oh! Ashlyn, kau benar-benar manis! senyumnya mengembang
tanpa Aldrich sadari. Demi Tuhan! Aldrich merasakan sesuatu pada dirinya yang
memberontak.
Aldrich menatap pantulan dirinya pada kaca wardrobe. Ia
membulatkan matanya. Wajahnya menjadi tegang. Dilihatnya, mata hitam kelam
Aldrich berubah warna menjadi merah pekat. Dan ia membukan mulutnya. Ia
tercekat saat gigi taring muncul. Bagaimana ini? Aldrich melirik Ashlyn yang
tengah asyik memperhatikan barang-barang dikamar barunya.
Ia tidak boleh ketahuan Ashlyn. Jika gadis itu melihatnya seperti
ini, bisa saja Ashlyn akan pingsan –atau mungkin Aldrich kehilangan kendali
atas dirinya. Aldrich mundur beberapa langkah menuju sisi gelap kamar. Mungkin
dengan ini akan sedikit tersamarkan. Aldrich benar-benar gelisah. Dengan
pikiran dongkol segera ia meninggalkan tempat ini.
Ashlyn mendengar langkah Aldrich meninggalkannya. Ia berbalik.
Kemana Aldrich? Mungkin ia lelah. Tapi mengapa ia merasakan sesuatu dihatinya?
Apa ini? Ashlyn tidak mengerti dengan suasana hatinya. Ia mendadak gelisah saat
Aldrich meninggalkannya sendirian. Tapi setelah pikir-pikir, taka da alasan
khusus untuk Aldrich menemaninya lebih lama untuk melihat seisi kamar barunya.
Ashlyn menghela nafas. gadis ini lelah dan ia butuh istirahat.
… … …
Sementara Aldrich berusaha mengendalikan dirinya. Ashlyn tidak
boleh mengetahuinya. Aldrich melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Disana ia
melihat Blaire dan Collins.
“Ada kalian
kesini?”
Aldrich menerka-nerka. Kunjungan Blaire dan Collins yang tak biasa
dijam istirahat Aldrich. Kondisi Blaire dan Collins sama dengannya.
“Kau merasakannya
Aldrich?” tanya Blaire.
“Kami
merasakannya, Ace. Seluruh makhluk
merasakan itu.”
Mata Blaire berbinar-binar. Ia tersenyum lalu menepuk pundak
Aldrich.
“Aku tahu,
Aldrich. Dan kau akan terkejut dengan ini.”
@@@
Ashlyn merasa gugup. Dihadapannya kini, ibu kepala sekolah
memanggilnya secara langsung dihadapan murid yang lain. Wanita 20 tahunan yang
untuk pangkatnya sebagai kepala sekolah. Ia hanya pasrah. Ia tahu kesalahannya.
Tapi, itu bukan 100% kesalahannya. Ashlyn ingin mengelak.
“Jadi,
bagaimana Ashlyn?”
Ashlyn hanya menunduk dan sedikit melirik. Ia tidak tahu harus
bicara apa. Ia ingin menyerukan bahwa dirinya tak murni bersalah. Tapi
bagaimana?
“Bisakah
wali menyempatkan waktu untuk datang kesini? Aku perlu mengkonfirmasikan
beberapa hal. Dan hal ‘itu’ adalah berkaitan dengan dirimu.”
Wali? Apakah beliau sedang mengejeknya? Ia barusan menyebut
‘wali’. Ashlyn tidak tahu apa yang harus ia katakan. Apakah Aldrich bisa
disebut sebagai walinya?
“Aku
sebatang kara, Ms.Maco.”
Ms.Maco tertegun. Benarkah jika muridnya ini sebatang kara.
Setahunya, keluarga Ashlyn adalah keluarga kaya. Kenapa salah satu keturunan
mereka hidup sebatang kara?
“Apa kau
tinggal dengan seseorang?”
Lidah Ashlyn kelu. Apakah ia harus mengatakan jika sekarang ia
menumpang dirumah pria itu, Aldrich? Tidak mungkin dan itu akan terdengar lucu.
Aldrich adalah orang asing dan ia belum sepenuhnya mengenal pria itu. Demi Tuhan! Sekarang perutnya
bergejolak. Ia tidak tahu apa itu.
“Tidak,
Ms.Maco”
Tentu saja itu kebohongan. Ashlyn meringis tertahan. Ia sudah
berbohong dan mungkin sebentar lagi masalahnya akan bertambah rumit. Jantung
Ashlyn berdetak hebat. Ia gugup, gelisah dan takut. Oh tidak! kini Gadis ini
sangat membutuhkan Aldrich. Sejak kapan? Entahlah. Kini Ashlyn benar-benar
dongkol untuk memikirkan jawaban atas
pertanyaan mengintimidasi Ms.Maco. ia sangat berharap Aldrich secara
mengejutkan mendobrak pintu dan menyeret Ashlyn keluar dan memeluknya seperti
kemarin. Sebuah drama kecil pikirnya.
‘Itu Konyol, Ashlyn’.
‘Aku membutuhkanmu, Aldrich!’
Tok…tok…tok…
Mereka terdiam dan menatap kearah pintu. ‘siapa itu?’
Note:
Gimana?
Akhirnya selesai nih part 3. Udah ada seminggu dilaptop dan gemes pengen di
publish.
Komentar
Posting Komentar